Jalan-jalan ke kompas nemuin cerita mengharukan ini nyee....
Foto dan Naskah: Kristianto Purnomo
Perjalanan menuju Desa Cicaringin, Kecamatan Gunung Kencana, Kabupaten Lebak, Banten tinggal selangkah lagi. Mobil yang saya kendarai menyapu jalan tanah desa yang diperkeras dengan batu, tanjakan dan turunan berkelok, dan membelah perkebunan karet.
Suasana pedesaan begitu terasa saat memasuki Desa Cicaringin. Rumah-rumah panggung berdinding anyaman bambu menjadi pemandangan sebagian besar rumah warga. Desa yang berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Serang boleh dibilang miskin infrastruktur.
Tak hanya akses jalan utama menuju desa ini rusak parah dan terkelupas aspalnya, namun sudah hampir lima bulan warga harus susah payah meniti kawat baja jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Seberang Mustari dan Kampung Cicaringin untuk menyeberang Sungai Ciliman.
Bagi anak-anak desa yang umumnya masih duduk di bangku sekolah dasar, menyeberang jembatan rusak akibat tersapu banjir bandang bukan tanpa rasa takut. Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.
Sementara itu sepuluh meter di bawah mereka, air Sungai Ciliman mengalir deras. Saat Sungai Ciliman banjir, niat anak-anak pergi ke sekolah pupus, mereka memilih untuk tidak pergi sekolah.
"Kasian anak-anak, mereka harus menyeberang sungai dengan tali sling (kawat baja), belum lagi kalau sungai banjir mereka terpaksa tidak sekolah karena resikonya besar," ujar Sunta seorang tokoh masyarakat di Cicaringin.
Perjalanan mencapai sekolah di SD Negeri Cicaringin 3 semakin berat bagi anak seusia mereka. Pagi-pagi buta bocah-bacah yang sebagian besar anak buruh penyadap karet dan petani ini sudah bangun dan menempuh perjalanan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang ke sekolah. Tak heran jika orang tua di desa ini mulai memasukkan anaknya ke sekolah dasar pada usia delapan tahun karena pertimbangan fisik untuk menempuh perjalanan jauh.
Bagi Ibandrio, Maimunah, Masitoh, Enah dan sekitar 10 temannya, berjalan kaki menuju sekolah telah menjadi sarapan sehari-hari. Meski sudah terbiasa, mereka mengaku perjalanan tersebut cukup menguras tenaga. Untuk mengusir rasa lelah, canda dan gelak tawa terdengar sepanjang perjalanan mereka.
Selepas sekolah, bukan berarti waktu luang anak-anak untuk bermain. Sebagian anak-anak di Cicaringin memilih mengumpulkan pasir sungai untuk dijual ke tetangga yang membutuhkan.
Satu ember pasir dihargai Rp 1.000, tak jarang mereka mendapatkan Rp 8.000 - Rp 10.000 dari hasil mengumpulkan pasir. Alasan mereka mendapatkan uang memang tak lain sekedar untuk jajan, namun cara mereka mendapatkan uang dan menjalani hidup untuk pendidikan tak sesederhana untuk anak seusia mereka.
Foto dan Naskah: Kristianto Purnomo
Perjalanan menuju Desa Cicaringin, Kecamatan Gunung Kencana, Kabupaten Lebak, Banten tinggal selangkah lagi. Mobil yang saya kendarai menyapu jalan tanah desa yang diperkeras dengan batu, tanjakan dan turunan berkelok, dan membelah perkebunan karet.
Suasana pedesaan begitu terasa saat memasuki Desa Cicaringin. Rumah-rumah panggung berdinding anyaman bambu menjadi pemandangan sebagian besar rumah warga. Desa yang berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Serang boleh dibilang miskin infrastruktur.
Tak hanya akses jalan utama menuju desa ini rusak parah dan terkelupas aspalnya, namun sudah hampir lima bulan warga harus susah payah meniti kawat baja jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Seberang Mustari dan Kampung Cicaringin untuk menyeberang Sungai Ciliman.
Bagi anak-anak desa yang umumnya masih duduk di bangku sekolah dasar, menyeberang jembatan rusak akibat tersapu banjir bandang bukan tanpa rasa takut. Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.
Sementara itu sepuluh meter di bawah mereka, air Sungai Ciliman mengalir deras. Saat Sungai Ciliman banjir, niat anak-anak pergi ke sekolah pupus, mereka memilih untuk tidak pergi sekolah.
"Kasian anak-anak, mereka harus menyeberang sungai dengan tali sling (kawat baja), belum lagi kalau sungai banjir mereka terpaksa tidak sekolah karena resikonya besar," ujar Sunta seorang tokoh masyarakat di Cicaringin.
Perjalanan mencapai sekolah di SD Negeri Cicaringin 3 semakin berat bagi anak seusia mereka. Pagi-pagi buta bocah-bacah yang sebagian besar anak buruh penyadap karet dan petani ini sudah bangun dan menempuh perjalanan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang ke sekolah. Tak heran jika orang tua di desa ini mulai memasukkan anaknya ke sekolah dasar pada usia delapan tahun karena pertimbangan fisik untuk menempuh perjalanan jauh.
Bagi Ibandrio, Maimunah, Masitoh, Enah dan sekitar 10 temannya, berjalan kaki menuju sekolah telah menjadi sarapan sehari-hari. Meski sudah terbiasa, mereka mengaku perjalanan tersebut cukup menguras tenaga. Untuk mengusir rasa lelah, canda dan gelak tawa terdengar sepanjang perjalanan mereka.
Selepas sekolah, bukan berarti waktu luang anak-anak untuk bermain. Sebagian anak-anak di Cicaringin memilih mengumpulkan pasir sungai untuk dijual ke tetangga yang membutuhkan.
Satu ember pasir dihargai Rp 1.000, tak jarang mereka mendapatkan Rp 8.000 - Rp 10.000 dari hasil mengumpulkan pasir. Alasan mereka mendapatkan uang memang tak lain sekedar untuk jajan, namun cara mereka mendapatkan uang dan menjalani hidup untuk pendidikan tak sesederhana untuk anak seusia mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar